Sabtu, 22 Januari 2011

MENGAPA MANUSIA MEMILIH DUNIA



Bagaimana memaknai kehidupan? Bagaimana manusia harus mensikapi kehidupannya? Kehidupan dalam Islam, bukanlah rentang waktu yang pendek, yang digambarkan usia seseorang, atau usia sebagian umat manusia. Namun, juga bukan rentang waktu yang nyata, yang digambarkan dengan usia umat manusia secara keseluruhan.

Kehidupan menurut pandangan Islam adalah kehidupan di segala masanya, baik itu kehidupan nyata – yakni kehidupan duniawi – dan juga kehidupan akhirat. Masa dalam kehidupan dunia berbanding jauh dengan kehidupan akhirat. Ia bagaikan hanya satu jam di tengah hari. Ruang kehidupan akhirat pun lebih luas dari ruang kehidupan dunia. Ia adalah perpaduan ruang kehidupan dunia – di mana manusia hidup – dengan ruang lainnya.

Luas surga dalam kehidupan akhirat sebanding dengan langit dan bumi dalam kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan neraka dalam kehidupan akhirat mampu menampung seluruh orang kafir dalam seluruh masa.

Tentu, hakikat rentang kehidupan mencakup kehidupan yang sifatnya familiar, yakni kehidupan akhirat, baik itu di surge maupun di neraka. Suasana yang ada dalam kehidupan akhirat tidak akan boleh dirasakan dan disamakan dengan suasana yang ada dalam kehidupan dunia.


Allah Ta’ala telah mendiskripsikan dengan jelas tentang kehidupan akhirat dalam al-Qur’an dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya, hingga tampak jelas hakikatnya bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya. Tapi, banyak manusia yang tidak mau memilih kehidupan yang lebih nyata, dan kekal, tapi manusia lebih memilih kehidupan yang fana, yaitu dunia
.
Allah Ta’ala berfirman : “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (al-Ankabut :64)

Menurut Mujahid mengungkapkan, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan, sesungguhnya akhirat I tulah yang sebenarnya kehidupan adalah kehidupan yang tidak ada kematian didalamnya”.

Sedang Ibn Jarir menyatakan, yang dimaksud dengan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal. Tidak ada kesudahannya, tidak interupsi dan tidak ada kematian. Ibn Abu Ubaidah mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang tidak ada kematian di dalamnya. Ia adalah kehidupan yang tidak penuh dengan tipu daya, sebagaimana kehidupan duniawi.

Kisah indah digambarkan dalam kehidupan seorang sahabat, yaitu Hasan al-Basri, yang sangat zuhud terhadap dunia. Al-Basri tidak pernah terkena tipu daya dunia. Hidupnya jauh dari perbuatan durhaka, dan senantiasa diliputi ibadah kepada Rabbnya. Ia tinggalkan kehidupan dunia, yang melalaikan, dan hanya tipu daya belaka. Hasan al-Basri, benar-benar seorang, yang senantiasa dirinya terikat dengan akhirat. Jalan hidupnya penuh dengan ketaqwaan.Ia tidak ingin mengotori dengan prenik-prenik kenikmatan yang menipu, dan membuatnya terjatuh dalam murka-Nya.



Ketika Hasan al-Basri sedang sakit, saudara-saudaranya dan teman-temannya yang menjenguk merasa heran. Karen mereka tidak mendapati apa-apa dirumahnya, tidak ada tikar ataupun selimut, kecuali tempat tidur yang tidak ada apa-apanya. Hasan al-Basri rahimahullah adalah seorang ustadz (guru) dalam kewara’an. Dia mencari tingkat yang luhur dan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang mengotorinya. Alangkah indahnya hidup laki-laki yang menahan diri dari selera nafsu dan beraneka ragam kenikmatan dunia.

Sementara, tak sedikit manusia yang binasa lantaran memperturutkan hawa nafsunya. Hasan al-Basri menjauhi hawa nafsu yang menyukai segala Sesutu, nafsu yang cenderung kepada aneka kesenangannya yang dapa merusaknya.

Kewara’an Hasan al-Basri sampai ke tingkat ia tidak mengambil gaji dalam tugasnya dibidang peradilan. Tatkala Addi bin Arthat, seorang pejabat Iraq, memberinya uang sebesar 200 dirham, ia menolaknya. Addi mengira pemberian wang itu dianggap kurang oleh Hasan al-Basri. Karena itu, ia menambahnya. Namun, Hasan al-Basri tetap menolaknya. Al-Basri berujar : “Aku menolaknya bukan karena aku memandang wang itu sedikit. Aku menolaknya karena tidak mau mengambil upah dalam memutuskan hukum”, tegas al-Basri.

Tidak ada lagi di zaman sekarang manusia yang memiliki sikap hidup seperti Hasan al-Basri, yang zuhud terhadap kehidupan dunia. Manusia modern di saat sekarang ini, justru mengejar kehidupan dunia yang fana, dan sebentar berakhir manusia. Tapi, justru manusia mengagungkan dan memuja kehidupan dunia, yang tidak ada artinya apa-apa di akhirat nanti. PENULIS : ABU HANIFAH 

PENGORABANAN SEORANG AYAH




Suatu ketika, ada seorang anak perempuan yang bertanya kepada ayahnya, tatkala tanpa sengaja dia melihat ayahnya sedang mengusap wajahnya yang mulai berkerut-merut dengan badannya yang terbongkok-bongkok, disertai suara batuk-batuknya. 

Anak perempuan itu bertanya pada ayahnya : "Ayah, mengapa wajah ayah kian berkerut-merut dengan badan ayah yang kian hari kian membongkok ?" Demikian pertanyaannya, ketika ayahnya sedang berehat di beranda. 

Si ayah menjawab : "Sebab aku lelaki." 

Anak perempuan itu berkata sendirian : "Aku tidak mengerti"... 

Dengan kerut-kening kerana jawapan ayahnya membuatnya termenung rasa kebingungan. 
Ayah hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anaknya itu, terus menepuk - nepuk bahunya, kemudian si ayah mengatakan : "Anakku, kamu memang belum mengerti tentang lelaki." Demikian bisik Si ayah, yang membuat anaknya itu bertambah kebingungan. 

Kerana perasaan ingin tahu, kemudian si anak itu mendapatkan ibunya lalu bertanya kepada ibunya : "Ibu, mengapa wajah Ayah jadi berkerut-merut dan badannya kian hari kian membongkok? Dan sepertinya ayah menjadi demikian tanpa ada keluhan dan rasa sakit ?" 


Ibunya menjawab : "Anakku, jika seorang lelaki yang benar-benar bertanggungjawab terhadap keluarga itu memang akan demikian." 

Hanya itu jawapan si ibu. Si anak itupun kemudian membesar dan menjadi dewasa, tetapi dia tetap juga masih tercari-cari jawapan, mengapa wajah ayahnya yang tampan menjadi berkerut-merut dan badannya menjadi membongkok? 

Hingga pada suatu malam, dia bermimpi. Di dalam impian itu seolah - olah dia mendengar suara yang sangat lembut, namun jelas sekali. Dan kata - kata yang terdengar dengan jelas itu ternyata suatu rangkaian kalimah sebagai jawapan rasa kebingungannya selama ini. 

"Saat Ku-ciptakan lelaki, aku membuatnya sebagai pemimpin keluarga serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia senantiasa akan berusaha untuk menahan setiap hujungnya, agar keluarganya merasa aman, teduh dan terlindung." 

"Ku ciptakan bahunya yang kuat dan berotot untuk membanting - tulang menghidupi seluruh keluarganya dan kegagahannya harus cukup kuat pula untuk melindungi seluruh keluarganya."

"Ku berikan kemahuan padanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yang berasal dari titisan keringatnya sendiri yang halal dan bersih, agar keluarganya tidak terlantar, walaupun seringkali dia mendapat cercaan dari anak-anaknya". 

"Ku berikan keperkasaan dan mental baja yang akan membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya berbasah kuyup kedinginan dan kesejukan kerana tersiram hujan dan dihembus angin, dia relakan tenaga perkasanya dicurahkan demi keluarganya, dan yang selalu dia ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil dari jerih-payahnya." 


"Kuberikan kesabaran, ketekunan serta kesungguhan yang akan membuat dirinya selalu berusaha merawat dan membimbing keluarganya tanpa adanya keluh kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerapkali menyerangnya". 

"Ku berikan perasaan cekal dan gigih untuk berusaha berjuang demi mencintai dan mengasihi keluarganya, didalam suasana dan situasi apapun juga, walaupun tidaklah jarang anak-anaknya melukai perasaannya, melukai hatinya. 

Padahal perasaannya itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana anak-anaknya tertidur lelap. Serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling menyayangi dan saling mengasihi sesama saudara." 

"Ku berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengertian dan kesedaran terhadap anak-anaknya tentang saat kini dan saat mendatang, walaupun seringkali ditentang bahkan dikotak-katikkan oleh anak-anaknya." 

"Ku berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengetahuan dan menyedarkan, bahawa isteri yang baik adalah isteri yang setia terhadap suaminya, isteri yang baik adalah isteri yang senantiasa menemani, dan bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka mahupun duka, walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada isteri, agar tetap berdiri, bertahan, sepadan dan saling melengkapi serta saling menyayangi." 

"Ku berikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti, bahawa lelaki itu senantiasa berusaha sekuat daya fikirnya untuk mencari dan menemukan cara agar keluarganya dapat hidup didalam keluarga bahagia dan badannya yang terbongkok agar dapat membuktikan, bahawa sebagai lelaki yang bertanggungjawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya, kesungguhannya demi kelanjutan hidup keluarganya." 

"Ku berikan kepada lelaki tanggungjawab penuh sebagai pemimpin keluarga, sebagai tiang penyangga ( seri / penyokong ), agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh lelaki, walaupun sebenarnya tanggungjawab ini adalah amanah di dunia dan akhirat." 

Terkejut si anak dari tidurnya dan segera dia berlari, berlutut dan berdoa hingga menjelang subuh. Setelah itu dia hampiri bilik ayahnya yang sedang berdoa, ketika ayahnya berdiri si anak itu menggenggam dan mencium telapak tangan ayahnya. 

"Aku mendengar dan merasakan bebanmu, ayah." 


IBU DAN KITA




Ketika berusia setahun, ibu suapkan makanan dan mandikan kita. Cara kita ucapkan terima kasih kepadanya hanyalah dengan menangis sepanjang malam.

Apabila berusia 2 tahun, ibu mengajar kita bermain. Kita ucapkan terima kasih dengan lari sambil ketawa apabila dipanggil.

Menjelang usia kita 3 tahun, ibu menyediakan makanan dengan penuh rasa kasih sayang. Kita ucapkan terima kasih dengan menumpahkan makanan ke lantai.

Ketika berusia 4 tahun, ibu membelikan sekotak pensil warna. Kita ucapkan terima kasih dengan menconteng dinding.

Berusia 5 tahun, ibu membelikan sepasang pakaian baru. Kita ucapkan terima kasih dengan bergolek-golek dalam lopak kotor.

Setelah berusia 6 tahun, ibu memimpin tangan kita ke sekolah. Kita ucapkan terima kasih dengan menjerit; Tak Nak! Tak Nak!

Apabila berusia 7 tahun, ibu belikan sebiji bola, kita ucapkan terima kasih dengan pecahkan cermin tingkap jiran.

Menjelang usia 8 tahun, ibu belikan aiskrim. Kita ucapkan terima kasih dengan mengotorkan pakaian ibu.

Ketika berusia 9 tahun, ibu menghantar ke sekolah. Kita ucapkan terima kasih dengan ponteng kelas.

Berusia 10 tahun, ibu menghabiskan masa sehari suntuk menemani kita kemana sahaja, kita ucapkan terima kasih dengan tidak bertegur sapa dengannya.

Apabila berusia 12 tahun, ibu menyuruh membuat kerja sekolah. Kita ucapkan terima kasih dengan menonton televisyen.

Menjelang usia 13 tahun, ibu suruh pakai pakaian menutup aurat. Kita ucapkan terima kasih dengan menyatakan pakaian itu ketinggalan zaman.

Ketika berusia 14 tahun, ibu terpaksa mengikat perut membayar wang asrama, kita ucapkan terima kasih dengan tidak menulis sepucuk suratpun.

Berusia 15 tahun, ibu pulang dari kerja dan rindu pelukan terima kasih dengan mengunci pintu bilik.

Menjelang usia 18 tahun, ibu menangis gembira bila kita diterima masuk IPTA.Kita ucapkan terima kasih dengan bersuka ria dengan kawan-kawan.

Ketika berusia 19 tahun, ibu bersusah payah bayar yuran pengajian, hantar ke kampus dan heret beg ke asrama. Kita ucap selamat jalan pada ibu di luar asrama kerana malu dengan kawan-kawan.

Berusia 20 tahun, ibu tanya kita ada teman istimewa, kita kata, “itu bukan urusan ibu.”

Setelah berusia 21 tahun,ibu cuba memberikan pandangan mengenai kerjaya, kita kata, “saya tak mahu jadi seperti ibu.”

apabila berusia 22-23 tahun, ibu membelikan perabot untuk rumah bujang kita, kita kata, pilihan ibu tak cantik, tak berkenan di hati kita.

Menjelang usia 24, ibu bertemu bakal menantu dan bertanya mengenai rancangan masa depan. Kita menjeling dan merungut, “ibu, tolonglah...!”

Ketika berusia 25 tahun, ibu bersusah payah menanggung perbelanjaan perkahwinan kita. Kita ucapkan terima kasih dengan berpindah jauh.

Pada usia 30 tahun, ibu menelefon memberi nasihat dan petua mengenai penjagaan bayi, kita megah berkata, itu dulu sekarang zaman moden.

Ketika berusia 40 tahun, ibu mengingatkan mengenai kenduri kendara di kampung, kita kata sibuk, tak ada masa nak datang.

Apabila berusia 50 tahun, ibu jatuh sakit dan minta kita menjaganya, kita bercerita tentang kesibukan dan kisah ibu bapa yang menjadi beban.

Dan kemudian, kita mendapat berita kematian ibu. Khabar itu bagai petir. Dalam lelehan air mata, barulah segala perbuatan kita terhadap ibu menerpa satu persatu.


MALAIKATMU


Suatu hari seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia... 

Dia bertanya kepada Tuhan : "Para malaikat disini mengatakan  Engkau akan mengirimkan saya kedunia, tetapi bagaimana cara saya hidup disana; saya begitu kecil dan lemah ?" 

Dan Tuhan menjawab: "Aku telah memilih satu malaikat untukmu. Iaakan menjaga dan mengasihimu ." 

Bayi bertanya lagi: "Tetapi disini; didalam syurga ini, apa yang

 saya lakukan hanyalah bernyanyi, bermain dan tertawa...Inikan sudah cukup bagi saya untuk berbahagia." 

"Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari. Dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan menjadi lebih berbahagia" 

"Dan bagaimana bisa saya mengerti disaat orang-orang berbicara

kepada saya jika saya tidak mengerti bahasa mereka ?" "Malaikatmu akan  berbicara kepadamu dengan bahasa yang paling indah yang pernah kamu dengar;dan dengan penuh kesabaran dan perhatian. Dia akan mengajar kepadamu cara berbicara." 

"Dan apa yang akan saya lakukan saat saya ingin berbicara kepadaMu?" "Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa" "Saya mendengar bahawa di Bumi banyak orang jahat. Siapa yang akanmelindungi saya ?" "Malaikatmu akan melindungimu; walaupun hal tersebut

mungkin akan mengancam jiwanya" 

"Tapi, saya pasti akan merasa sedih kerana tidak melihatMu lagi" 

"Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang Aku, dan akan

mengajarkan bagaimana agar kamu bisa kembali kepadaKu; walaupun sesungguhnya Aku akan sentiasa disisimu" 

Disaat itu, Syurga begitu tenang dan heningnya sehingga suara dariBumi dapat terdengar, dan sang bayi bertanya perlahan : "Tuhan, jika sayaharus pergi sekarang, bisakah Kamu memberitahuku nama malaikat tersebut ?"


"Kamu akan memanggil malaikatmu itu: " IBU " 

Ingatlah sentiasa kasih sayang dan pengorbanan ibu. Berbakti,

berdoa dan cintailah dia sepanjang masa..... Dialah sesatunya harta yang tiada galang gantinya dunia akhirat.... Dan untuk para ibu, ingatlah kisah ini dikala kamu hilang sabar dengan karenah anak-anak yang sedang membesar...sesungguhnya Syurga itu dibawah telapak kakimu... 

Sucikanlah 4 hal dengan 4 perkara : 

1) Wajahmu dengan linangan air mata keinsafan, 

2) Lidahmu basah dengan berzikir kepada Penciptamu, 

3) Hatimu takut dan gementar kepada kehebatan Rabbmu, dan dosa-dosa yang silam 

4) Di sulami dengan taubat kepada Dzat yang Memiliki mu." 



RASA BERDOSA YANG TIDAK SEPATUTNYA



Jangan berputus asa dengan rahmat Allah. ~

Rasa berdosa adalah satu perasaan yang positif. Itu tandanya, jiwa kita masih hidup, hati kita masih peka. Mempunyai perasaan bahawa diri ini berdosa apabila melakukan kesalahan, adalah kunci utama untuk bergerak ke arah kebaikan.

Menjadi satu masalah apabila kita kehilangan rasa berdosa apabila melakukan kesalahan, kerana pastinya ketiadaan rasa berdosa itu adalah kerana kita memandang kesalahan kita satu perkara yang normal.

Namun, terdapat beberapa orang yang silap dalam memandang rasa berdosa ini.

Kesilapan mereka, membuatkan rasa berdosa memberikan impak negatif di dalam kehidupan mereka.

Mereka rasa berdosa, sehingga mereka tidak lagi bergerak ke arah kebaikan. Kerana mereka merasakan bahawa mereka kotor, dan tidak lagi boleh disucikan.

Ini adalah rasa berdosa yang silap, dan tidak sepatutnya.

Rasa berdosa yang sepatutnya

Rasa berdosa yang sepatutnya, adalah membawa kepada peningkatan diri.

Kita rasa berdosa, lantas kita bergerak mensucikan diri. Kita melakukan kesalahan, segera kita bergerak memperbaikinya. Rasa berdosa menggerakkannya.

Hal ini kerana, rasa berdosa kita sewajibnya perlu datang dengan iringan kefahaman dan kepercayaan bahawa Allah SWT itu Maha Pengampun, Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.

Tetapi kalau kita rasa berdosa, rasa diri kita ini kotor, tetapi pada masa yang sama kita menutup pintu hati kita daripada keampunan Allah SWT yang luas, maka kita hanya akan bergerak ke lurah kehancuran.

 

Allah dan kefahamanNya kepada kita

Allah adalah pencipta kita. Yang paling memahami kita adalah Dia. Dia adalah yang paling tahu kadar kemampuan kita. Dia adalah yang paling tahu akan keadaan kita. Allah itu Maha Tahu, sebelum Dia menciptakan kita lagi, bahawa manusia ini akan melakukan dosa. Memang Dia menciptakan kita demikian.

“Demi diri manusia dan Yang Menyempurnakan kejadiannya (dengan kelengkapan yang sesuai dengan keadaannya) serta mengilhamkannya (untuk mengenal) jalan yang membawanya kepada kejahatan, dan yang membawanya kepada bertaqwa.” Surah Asy-Syams ayat 7-8.

Maka adakah Allah sekadar menjanjikan azab siksa untuk yang ingkar sahaja?

Adakah Allah mendiskriminasikan pendosa sedangkan Dia memang menciptakan kita dengan kemungkinan untuk berdosa?

Tidak. Tetapi lihatlah apa yang Allah katakan kepada para pendosa:

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan-perbuatan maksiat), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, kerana sesungguhnya Allah mengampunkan segala dosa; sesungguhnya Dia lah jua Yang Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” Surah Az-Zumar ayat 53.

“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” Surah An-Nisa’ ayat 64.

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” Surah Ali Imran ayat 135.

Nah. Allah itu memberikan ruang dan peluang kepada kita.

Maka mengapa perlu rasa berdosa sehingga tidak mahu bergerak ke arahNya?

 

Syaitan yang menipu

Di dalam hal rasa berdosa sehingga tidak lagi mahu melakukan kebaikan ini, kita tidak boleh lupakan ‘sahabat karib’ manusia yang sentiasa berusaha membawa manusia kepada kecelakaan akhirat.

Itulah dia Iblis, Syaitan dan kuncu-kuncunya.

Mereka ini mempunyai pelbagai taktik. Antaranya, menggunakan kepositifan untuk membawa kepada kenegatifan. Contohnya adalah apa yang kita sedang bincangkan.

Rasa berdosa adalah positif. Tetapi syaitan akan membisikkan kepada kita keputus asaan.

“Kau dah berdosa teruk ni, tak boleh patah balik dah ni.”

“Ini dosa besar ni, Allah memang dah tak akan pandang kau lagi.”

Dan kita akhirnya berlari pergi daripada Allah, daripada kebaikan, kerana kita merasakan bahawa: “Aku bukan orang-orang itu lagi. Aku dah tak boleh diselamatkan. Tak boleh patah balik.”

Sedangkan, Allah sentiasa membuka ampunanNya kepada manusia.

“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Surah Al-Baqarah ayat 268.


Adalah berbeza orang itu dan orang ini.

Namun, ada segolongan manusia yang keji. Mereka ini adalah pengkhianat.

Pengkhianat kepada rahmat dan kasih sayang Allah yang luas.

Mereka memang sengaja melakukan dosa, dan bertaubat dalam keadaan “Bila taubat ni, dosa haritu dah terpadam. Jadi, bolehlah buat lagi dosa. Nanti taubatlah semula.”

Dia melakukan dosa dengan sengaja, dengan perasaan bahawa dosanya itu tidak mengapa kerana nanti boleh bertaubat. Ini adalah pengkhianatan kepada kasih sayang Allah SWT.

Mereka ini berbeza dengan golongan yang rasa berulang kali melakukan dosanya, dalam keadaan benci kepada dosanya dan bersungguh-sungguh berjuang meninggalkannya.

Memang wujud isyarat bahawa Allah SWT menyuruh manusia berulang kali bertaubat. Tanda bahawa manusia ini memang akan melakukan kesalahan berulang-ulang. Namun adalah amat berbeza berulang-ulang melakukan dosa dengan sukarela, tanpa ada usaha-usaha mencegahnya, dengan terulang dosa kerana tertewas dalam perjuangan menentangnya.

Persoalannya, apakah kita menentang dosa kita? Atau kita menerima dengan tangan terbuka? Adakah kita merancang untuk menjauhi dosa, atau kita tidak merancang untuk menjauhinya? Nyata dua golongan itu punya perbezaan yang sangat ketara.

Maka janganlah berputus asa. Bergeraklah ke arah kebaikan.

Maka janganlah berhenti melakukan kebaikan, hanya kerana semata-mata rasa berdosa. Rasa berdosa itu positif. Positif kerana ia memacu kita untuk beramal dengan lebih kuat bagi menebus kesilapan kita. Maka jangan kita negatifkannya dengan merasakan kita terlalu kotor untuk diampunkan.

Siapakah kita yang hendak melimitkan kuasa pengampunan Allah kepada kita?

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal soleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Surah Al-Maidah ayat 9.

Dan ayat Allah SWT ini jelas menunjukkan bahawa, keampunan itu datang dengan beramal soleh. Rasa berdosa semata-mata tidak akan menyelamatkan kita. Jika benar rasa berdosa, maka sepatutnya kita meninggalkan kejahatan dan melakukan kebaikan.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Surah Al-Baqarah ayat 218.

Bergeraklah. Padamkan dosa kita dengan bergerak ke arah kebaikan.

Sesungguhnya Allah SWT itu ampunanNya luas dari jangkaan.


BELAJAR DARI WAJAH



Kehidupan ini akan lebih bermakna sekiranya kita menjadikan alam sekeliling kita ini sebagai guru untuk kita mengenali kehidupan. Perhatikan setiap yang ada di keliling kita dengan jiwa dan perasaan kita, tentu banyak yang dapat kita pelajari. Setiap sesuatu memerlukan persediaan jiwa. Kalau kita baca Al Quran pun, kita akan dapati seolah-olahnya ada ayat-ayat baru yang kita belum pernah dengar dan faham. Begitu juga alam ini yang juga merupakan kitab Allah (Kitab Kauniyah; kitab yang menggambarkan kebesaran dan keagungan Allah SWT, Al Quran pula adalah kitab Qauliyah; kata-kata dari Allah SWT) akan kita fahami maknanya sekiranya kita menghadapinya dengan persediaan jiwa.

Cuba kali ini kita belajar dari wajah. Ya, wajah manusia. Ada orang bertanya apa yang ada pada nama, apabila dibongkar-bongkarkan memang banyak rahsianya pada nama, sekurang-kurangnya nama kita adalah doa. Kalau nama kita memberi makna yang tidak baik, jadi setiap kali orang memanggil kita maka dia sedang mendoakan keburukan bagi kita. Ada juga larangan supaya tidak berikan nama pada anak dengan nama kemudahan ( Yasir) dan sebagainya kerana nanti apabila datang orang ke rumah kita ditanyakannya “ Yasir (kemudahan) ada di rumah?” kitapun menjawab “ Tak ada (Kemudahan), ia tak ada di rumah” maknanya kita kata yang ada di rumah kita adalah kesukaran, kepayahan dan nasib yang tak baik”. Begitu juga wajah manusia tentu banyak rahsia yang boleh kita gali dan pelajari. Tentu banyak rahsianya.


Ketika datangnya hari baru, tekadkan dalam diri : "hari ini, saya ingin tahu wajah yang paling mententeramkan hati itu bagaimana? Wajah yang paling menggelisahkan itu bagaimana?" Kerana tentunya setiap hari kita akan banyak melihat pelbagai wajah. Ya, kerana setiap orang yang akan kita temui pastilah mempunyai wajah. Wajah isteri, suami, anak, jiran, teman sepejabat, orang di perjalanan, dan sebagainya. Nah, ketika kita berjumpa dengan siapapun hari ini, marilah kita belajar ilmu tentang wajah.

Subhanallaah, pastilah kita akan bertemu dengan beraneka macam bentuk wajah. Dan, tiap wajah ternyata kesannya berbeza-beza kepada kita. Ada yang mententeramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Hairan! Menakutkan? Kenapa? Apa yang menakutkan, adakah kerana bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang hidungnya besar dan kasar berparut tapi mententeramkan. Ada yang sorot matanya tajam tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.

Pernah suatu ketika berjumpa dengan seorang teman dari benua Afrika, subhanallaah, walaupun kulitnya tidak putih bahkan sehitam belakang kuali di rumah tetapi ketika apabila memandang wajahnya... sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung hati yang paling dalam. Sungguh bagai disiram air sejuk menyegarkan di pagi hari. 

Ada pula seorang ulama yang tubuhnya kecil, dan ditakdirkan Allah lumpuh sejak kecil. Namanya Syekh Ahmad Yassin, pemimpin ruhani gerakan Intifadah, Palestin. Ia tidak punya daya, duduknya pun di atas kerusi roda dan suaranya pun tidak normal…bunyinya begitu berbeza dari manusia biasa. Hanya kepalanya saja yang bergerak. Tapi, saat menatap wajahnya, terpancar kesejukan yang luar biasa. Padahal, beliau jauh dari ketampanan wajah sebagaimana yang dianggap rupawan dalam versi manusia. Tapi, ternyata dibalik kelumpuhannya itu beliau memendam ketenteraman batin yang begitu dahsyat, tergambar saat kita memandang sejuknya pancaran rona wajahnya.


Jadi kalau hari ini kita berjaya mengenali atau bertemu struktur wajah seseorang yang mententeramkan, maka carilah rahsianya bagaimana dia memiliki wajah yang mententeramkan itu. Tentulah, benar-benar kita akan rasa hormat. Betapa senyumannya yang tulus; pancaran wajahnya, nampak ingin sekali ia membahagiakan siapapun yang menatapnya. Dan sebaliknya, bagaimana kalau kita menatap wajah lain dengan sifat yang berlawanan; (maaf, bukan bermaksud meremehkan) ada pula yang wajahnya bengis, struktur katanya kasar, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah. Begitulah, wajah-wajah dari saudara-saudara kita yang lain, yang belum mendapat ilmu; bengis dan kasar. Dan ini pun perlu kita pelajari.

Ambillah kelebihan dari wajah yang mententeramkan, yang menyejukkan tadi menjadi sebahagian dari wajah kita, dan buang jauh-jauh raut wajah yang tidak ramah, tidak mententeramkan, dan yang tidak menyejukkan.

Tidak ada salahnya jika kita menilai diri di depan cermin. Tanyalah; raut seperti apakah yang ada di wajah kita ini? Memang ada di antara hamba-hamba Allah yang bibirnya ditakdirkan agak berat ke bawah. Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah. Subhanallaah, bentuk seperti ini pun kurniaan Allah yang patut disyukuri dan boleh dijadikan sebagai ladang amal bagi siapapun yang memilikinya untuk berusaha senyum ramah sebaik mungkin.

Sedangkan bagi wajah yang untuk seulas senyum itu sudah ada, maka hanya perlu meningkatkan lagi kualiti senyum tersebut, iaitu untuk lebih ikhlas lagi. Kerana senyum di wajah, bukan hanya persoalan menyangkut hujung bibir saja, tapi yang utama adalah, ingin atau tidak kita membahagiakan orang lain? Ingin atau tidak kita membuat persekitaran kita bercahaya? Nabi Muhammad SAW, memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang yang bertemu dengan beliau sehingga orang itu merasa puas. Kenapa puas? Diriwayatkan bahawa Nabi Muhammad SAW – bila ada orang yang menyapanya – menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama di hadapan beliau. Sesuai kadar kemampuannya.

Padahal, ketika Rasulullah SAW berbincang dengan siapapun, maka orang yang diajak berbincang ini sentiasa menjadi curahan perhatian. Tidak hairan bila cara memandang, cara bersikap, ternyata menjadi ciri kemuliaan yang baginda contohkan. Dan itu ternyata berpengaruh besar terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara.


Adapun kemuram durjaan dan kegelisahan itu muncul apabila kita belum menganggap orang yang ada dihadapan kita orang yang paling utama. Makanya, terkadang kita melihat seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita pun menyapa orang itu sambil baca surat khabar. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan kata-kata, cara memandang dan sikap kita itu tidak akan mempunyai daya sentuh. Tidak mempunyai daya pancar yang kuat.

Orang kerana itu, marilah kita melatih diri meneliti wajah, tentu saja bukan maksud untuk meremehkan tetapi untuk mengambil tauladan wajah yang baik, menghindari yang tidak baiknya serta mencari kuncinya menghasilkan wajah yang terbaik? Lalu praktikkan dalam perilaku kita sehari-hari. Selain itu belajarlah untuk mengutamakan orang lain!

Mudah-mudahan kita dapat mengutamakan orang lain di hadapan kita, walaupun hanya beberapa minit sahaja, walaupun hanya beberapa saat, subhanallaah.

 

BELANTARA KEHIDUPAN



Tidakkah kita merasakan keimanan kita terancam? Tidak kita kita merasakan diri kita berada di dalam belantara ngeri yang penuh dengan binatang buas dan ganas yang mengancam hubungan hati kita dengan Allah SWT? Tidakkah kita melihat setiap hari ada teman-teman dan saudara kita yang menjadi mangsa keganasan itu?

Inilah hakikat kehidupan kita. Kekufuran tidak pernah memberi laluan mudah untuk keimanan terbina dan menguasai jiwa umat. Inilah suasana peperangan dan ancaman yang berlarutan sejak Nabi Adam AS dijadikan.

Adakah kita merasakan Rasulullah SAW melalui jalan mudah untuk membina ummat contoh (generasi al qur'an yang unik; jiilun qur'anun farid) itu. Adakah kita terlupa suatu tengahhari ketika mana manusia sedang berehat kepanasan, Baginda keluar merayau-rayau dipadang pasir, apabila ada sahabat yang terserempaknya lalu bertanya, kenapa baginda di sini? lalu jawab baginda "Aku kelaparan, sudah beberapa hari aku tidak menjamah makanan". Bukankah Rasulullah SAW itu seorang peniaga yang berjaya, bukankah Saidatina Khadijah isterinya itu seorang janda kaya? Kemanakah perginya seluruh harta mereka?


Adakah kita terlupa saat seusainya peperangan Uhud, Abu Ubaidah RA mencabut satu persatu mata rantai baju besi baginda yang patah dan menembusi pipinya dan terbenam digusi baginda yang mulia itu hingga tercabut beberapa batang gigi baginda?

Inilah harga yang telah baginda bayar untuk menyelamatkan kita dari azab neraka jahannam. Inilah harga untuk keimanan terus bertapak dihati-hati kita dann untuk dakwah terus tersebar ke seluruh pelusuk dunia.

Adakah kita merasakan peperangan ini tamat apabila Rasulullah SAW menghembuskan nafasnya yang terakhir?


Tentunya tidak. Yahudi & Nasrani tidak akan pernah kenal henti hinggalah kita mengikut jejak langkah kekufuran mereka selangkah demi selangkah walau hingga kelubang biawak (Mafhum dari hadith) bahkan mereka tidak akan pernah redha hinggalah kita benar-benar menjadi pengikut milah (agama) mereka (mafhum dari al Quran). Pertembungan dan peperangan ini tidak pernah akan berhenti hinggalah ke hari qiamat.

Sekiranya kita tidak merasakan kehangatan peperangan ini maka ada beberapa kemungkinan.

1. Mungkin kita tidak benar-benar memahami hakikat Iman,
2. Kalau kita memahaminya mungkin kita tidak merasai besarnya nikmat iman ini untuk kita pertahankan
3. Kalaupun kita merasakan besarnya nikmat iman ini tetapi mungkin kita tidak merasai tuntutan keimanan agar ianya dipertahankan dan disebarkan kepada seluruh manusia.



 

SIMPANG SIUR KEHIDUPAN


Hidup ini umpama satu rangkaian teka teki, jika kita berjaya mendapatkan jawapan yang betul maka kita akan berpeluang menjawab teka teki yang seterusnya.


Kita seringkali berdepan dengan berbagai pilihan yang memerlukan keputusan segera. Setiap pilihan yang kita lakukan akan menetukan nasib kita dikemudian hari. Kadangkala kita tersalah membuat pilihan menjadikan kehidupan kita bermuarakan kesedihan, kekecewaan dan penyesalan. Kadangkala kita membuat pilihan yang bijak dan betul namun itu bukanlah satu-satunya pilihan yang perlu kita lakukan. Hidup ini umpama satu rangkaian teka teki, jika kita berjaya mendapatkan jawapan yang betul maka kita akan berpeluang menjawab teka teki yang seterusnya.

Inilah simpang siur kehidupan. Persoalannya "Adakah kita telah memilih jalan yang betul?". Kesilapan dan kecuaian ada padahnya. Setiap pilihan yang kita lakukan memerlukan keseriusan, kepekaan jiwa dan kesungguhan untuk melakukan pilihan yang terbaik. Kelemahan jiwa kadang-kadang menyebabkan kita memandang mudah dan remeh perkara utama dalam kehidupan kita hingga kita terperangkap dengan akibat kecuaian dan kebodohan kita dalam memilih jalan yang betul.


Setiap pilihan itu ada harganya. Setiap kesilapan mengundang kekecewaan dan penyesalan. Namun keimanan menjadikan jiwa kita kuat dan penuh harapan. Asalkan kita berusaha yang terbaik dan sentiasa membaiki diri dan kesilapan kita maka Allah akan membentangkan tikar harapannya yang ditaburi bunga-bungaan keampunan lalu kesilapan dan kecuaian itu menjadi medan mengenal diri dan mempelajari erti kehidupan dan keimanan. Asalkan kita menuju padaNya dengan JALAN KEHAMBAAN maka kita akan sampai kepadaNya dengan selamat.

Kita adalah Hamba yang serba lemah, kadangkala kita tersilap dan tersungkur namun kita menyakini RahmatNya lalu kita bangun dengan penuh harapan, kita sandarkan diri pada pengampunanNya. Kita berpaut pada dahan tawakal dan kepasrahan serta memulakan langkah baru dengan bertongkatkan taqwa kepadaNya......Inilah jalan kehambaan. Kita tidak akan menemui Allah melalui jalan-jalan yang lain. Allah SWT menjadikan kita lemah supaya kita dapat mengintai kebesaran dan keagungan Allah, Allah menjadikan kita serba kekurangan agar kita takjub dengan kesempurnaan dan kehebtan Allah SWT.


Kita tidak mungkin menemukan Allah selagi masih ada keegoan dan tinggi diri, tidak juga dengan keangkuhan dan merasakan diri sudah sempurna.

Seorang yang telah membunuh 99 orang datang menemui seorang 'Alim lalu bertanya adakah Allah masih akan mengampunkan dosa-dosanya. Lalu si Alim tadi menggelengkan kepalanya "Dosa kamu terlalu besar, tak mungkin Allah akan ampunkan dosa kamu" Ketika itu si pembunuh itu terlalu marah lalu dibunuh seorang lagi hingga genap 100 orang yang dibunuhnya. lalu dia pergi menemui orang lain, lalu bertanya lagi adakah Allah akan ampunkan dosanya yang telah membunuh 100 orang. lalu jawab lelaki yang ditanya tadi "Boleh, asalkan kamu benar-benar bertaubat dan berhijrah ke tempat baru" Lalu pembunuh tadipun bertaubat dengan sesungguhnya dan berhijrah ke tempat baru. Malangnya dalam perjalanan ia jatuh lalu meninggal dunia. Lalu Allah mengutuskan malaikat untuk melihat keadaannya lalu didapati dia sedang menuju kepada jalan kebaikan maka dicatatkan ia sebagai ahli syurga.
Mungkin dosa-dosa kita besar tetapi yakinilah bahawa pengampunan Allah SWT itu jauh lebih besar
(PENULIS : ABU HANIFAH)


PASRAH



Langit tidak selalu cerah. Kita mengharapkan panas hingga ke petang, tiba-tiba hujan ditengahari. Ini adalah sebahagian dari kata-kata orang tua-tua berkaitan dengan kehidupan kita. Tentunya kata-kata ini tidak lahir secara kebetulan tetapi melalui pengalaman yang terbukti berulang-ulang kali.

Inilah hakikat kehidupan yang sebenarnya. Namun kita masih lagi terkejut apabila berdepan dengan masalah yang tidak kita jangkakan. Kita inginkan kehidupan kita berlangsung sebagaimana yang kita rancang dan harapkan. Apabila ada penghalangnya kita kecewa dan marah.

Pernah seorang salafussoleh, suatu hari pulang ke rumah dengan sebiji buah tembikai sebagai buah tangan untuk isterinya. Apabila isterinya membelah buah tembikai tersebut, didapati buahnya busuk dan tidak boleh dimakan. Isterinya meluahkan kata-kata yang menggambarkan kemarahannya. Si suami lalu bertanya "Siapa yang kamu marah? Adakah kepada penjual, kalau dia tahu tentu dia tidak akan jual buah ini, atau adakah kamu marahkan petani, kalau boleh dia nak semua buah yang ditanamnya elok atau kamu marahkan Allah SWT yang menentukan segala-galanya". 

Beginilah sepatutnya sikap seorang yang beriman, apabila kita kegelapan kita tidak akan marahkan kegelapan tetapi kita mencari jalan bagaimana untuk mendapatkan cahaya. Kita sentiasa pasrah kepada apa yang telah diputuskan oleh Allah SWT. Segala perancangan dan ketentuan Allah adalah sempurna dan terbaik untuk kita cuma mungkin kerana kelemahan serta kekurangan ilmu, kita tidak dapat melihat hikmah yang terkandung disebalik semua kepahitan yang kita tempuhi.


Namun hakikatnya memang begitu dan inilah tuntutan keimanan.....kita meyakini segala keputusan Allah itu adalah yang terbaik cuma kita yang terlalu kerdil dan jahil untuk menggali hikmah disebalik semua kejadian yang menimpa kita. 

Inilah KEPASRAHAN sebenar iaitu menerima ketentuan Allah dengan dada yang lapang dan hati yang tenang dan kepasrahan ini perlu berlaku dalam setiap keadaan senang atau susah, secara teori atau amali. Inilah sumber kekuatan jiwa. Mulai hari itu saya lihat isteri saya tidak lagi tertekan dengan masalah matanya bahkan tidak pernah mengeluh. Kalaupun kita rasa tertekan dan mengeluh, adakah penyakit itu akan sembuh dengan sendirinya? Tentunya tidak. Jadi kita berusaha sebaik mungkin kerana usaha itu sendiri adalah sesuatu yang dituntut oleh Allah SWT keputusannya kita serahkan kepada Allah SWT.

Kepasrahan adalah sumber ketenangan dan kepuasan hidup. Kehidupan kita sememangnya padat dengan ujian dan halangan namun kepasrahan ialah rawatan dan sumber kekuatan jiwa untuk berdepan dengannya. Kepasrahan mengajar kita erti kesabaran dan redha kepada segala kehendak Allah SWT.

CAHAYA BARU

                                                                          

Adakalanya musibah datang bertimpa-timpa. Ketika kita dipuncak kerunsingan dan kegelisahan tiba-tiba datang musibah baru yang lebih berat dan diluar dugaan kita.

Dunia terasa kelam dan diri kita terasa begitu kerdil. Kita merasa diri ini terlalu lemah untuk berdepan dengan arus kehidupan yang deras dan mencabar. Kita mula mencari tempat untuk berpaut, apa saja yang kita yakin dapat memberi ketenangan dan kekuatan pada diri kita. Kita beberapa kali terhempas kerana tersalah dalam memilih tempat untuk berpaut. Kita jatuh lagi dan terus hanyut dibawa arus kehidupan yang deras dan ganas.

Ketika kelemahan kita sampai kepuncaknya, kita terasa diri kita hilang buat seketika. Jiwa kita terlalu lemah dan silau untuk melihat dunia. Kita putus asa dengan kehidupan. Kita teraba-raba mencari diri hingga akhirnya kita temui bahawa memang kita ini bukan apa-apa. Kita ini memang terlalu lemah dan kerdil, kita kini sedar bahawa kita sudah terlalu lama lupa diri. Kita terlupa bahawa memang kita ini terlalu kerdil, lemah dan hina.


Kita mendongak ke langit, meneliti alam yang begitu rapi dan tersusun dan kita melihat pada diri kita. Kita bertambah yakin bahawa kita ini bukan apa-apa, kita ini lemah, kita ini terlalu kerdil tetapi kita telah lupakan itu semua…….kita telah lupa diri kita siapa. Kita mula mengangkat tangan, kita tadahkan kedua tangan kita dengan penuh kerendahan dan kepasrahan. Kita menangisi kelalaian kita, kita mula insaf segala kesalahan dan dosa kita. Air mata mula mengalir membasahi wajah kita dan membersihkan segala kekotoran pada hati kita; dendam, kebencian, keraguan, kemarahan, keangkuhan dan kesedihan mengalir lalu bersama titisan air mata kita.

Kita terlena dalam munajat dan keinsafan kita hinggalah datang fajar baru dengan harapan baru. Kita bangun sebagai manusia baru; tiada lagi keangkuhan, dendam dan benci, tiada lagi kemarahan dan kesedihan. Kita melihat ke ufuk, kita melihat fajar baru menyerakkan cahaya baru, kita menoleh bumi sekelilingnya, yang kita lihat ialah kehidupan baru dengan jiwa yang baru. Dan kini kita bertambah yakin bahawa yang menghidupkan ialah Allah SWT, yang memberi kelapangan ialah Allah. Allahlah sumber kehidupan, sumber ketenangan dan kebahagiaan.  (PENULIS : ABU HANIFAH )





LILIN HARAPAN

Masih adakah lagi kehidupan setelah padamnya harapan?

Kita akan sanggup menempuhi apa saja halangan dan ujian selagimana harapan masih lagi menyala di jiwa kita. Walaupun kehidupan yang kita tempuhi tidak sepertimana yang kita rancang, walau kegagalan menghiasi setiap langkah yang kita aturkan namun selagimana masih ada harapan di hati, kita kan masih mampu meneruskan perjalanan hidup ini. Namun ketika angin musibah sekali sekala bertiup kencang hingga hampir-hampir lilin harapan kita terpadam, ketika itu kita merasakan kegelapan; hari-hari yang dilalui adalah mimpi ngeri sedangkan esoknya adalah misteri yang mengumpulkan segala ketakutan dan keputus asaan.

Kita menoleh kebelakang namun segala kebahagiaan lalu bagai ilusi berkaca yang boleh kita bayangkan tetapi bukan untuk disentuh. Namun setelah musibah itu reda dan api lilin harapan kita kembali bercahaya seperti sebelumnya kita seolah-olah mati hidup semula dengan keazaman baru, melangkah dengan jiwa yang tenang dan semangat yang membara. Kita tidak sabar-sabar menanti hari esok untuk kita isikan dengan impian dan harapan.


Harapan adalah kehidupan. Tidak ada kehidupan tanpa harapan bahkan mulianya insan kerena mulianya harapan yang dibina. Harapan yang tumbuh dari keimanan yang benar, harapan yang dihiasi taqwa dan tawakal serta disinari cahaya nubuwwah dan petunjuk ilahi. Keimanan yang akan membuahkan keyakinan dan kesabaran. Keyakinan pada janji-janji dan pertolongan Allah SWT yang merawat segala kelukaan jiwa dan keputus asaan. Keimanan yang akan membuahkan kesabaran yang menjadikan kehidupan ini indah dan bercahaya serta dilapisi dedaunan harapan dan keazaman. Kesabaran yang Harumannya ialah kepasrahan iaitu memandang baik segala keputusan Allah disamping meyakini hikmah yang tersembunyi disebaliknya, kelopak-kelopaknya diwarnai ketabahan, ketenangan, keteguhan jiwa sebagai lambang kepuasan dengan qadar Allah SWT.

Hinanya insan kerana hinanya harapan yang menguasai diri dan tingkahlakunya. Harapan yang dibina diatas nafsu haiwani yang tidak mengenal batas dan hak. Nafsu yang menjadi hijab antara kebenaran dan kebathilan, hak dan tanggungjawab, kewajiban dan tegahan serta makruf dan kemungkaran. Harapan yang dibutakan oleh kejahilan dan kemunafiqan. Harapan yang diwarnai ego, takbur dan kepentingan diri.

Biar gelombang kegagalan menggoncang jiwa, biar hari-hari yang dilalui adalah kesedihan dan kekecewaan serta hari esok yang tidak menjanjikan apa-apa, janganlah dibiarkan lilin harapan kita terpadam. Pelihara ia agar terus menyala dan meyinari hidup kita kerana tanpanya ialah keputus asaan dan kekecewaan, tanpanya hidup ini adalah kuburan dan kematian.

MENONGKAH ARUS



Kehidupan ini umpama arus deras yang sentiasa mengalir tanpa henti. Sebagaimana jiwa kita yang kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah begitu jugalah kehidupan kita; kadang-kadang kita cukup kuat untuk menongkah arus kehidupan yang serba ganas atau sekurang-kurangnya mampu bertahan dengan apa yang ada namun kadang-kadang ketika jiwa kita lemah tak bermaya maka kitapun tewas lalu hanyut dibawa arus. 

Ketika jiwa kita kuat dan masih mampu berpegang pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang benar maka akan terserlahlah kewiibawaan dan jati diri kita lalu kitapun melangkah gagah menuju kemuliaan atau ketinggian di sisi Allah SWT lalu manusia lainpun akan kagum dan hormat pada kita. Namun disaat-saat jiwa kita lemah kita akan hanyut bersama arus deras yang menuju kekecewaan dan kehinaan.

Inilah hakikat kehidupan. Jika kita berpeluk tubuh tanpa melakukan sesuatu maka kegagalan, kekecewaan, kehampaan dan segala kelemahan akan mewarnai kehidupan kita. Tetapi untuk kita berjaya dan bahagia, mulia dan berwibawa, kita perlukan usaha dan pengorbanan. 


Inilah hakikat kehidupan...jika kita tidak exercise, tak jaga makan mimum kita maka kita akan sakit tetapi kalau kita nak sihat maka kita perlu senaman secara berterusan disamping kita menjaga makan dan minum kita mengikut keperluan. Begitu juga dengan hati kita...jika kita tidak jagainya dengan menjauhi dosa, berikan makanan dengan tazkirah dan ibadah maka hati kitapun akan sakit lalu kita akan lebih cenderung pada dosa dan kehinaan. 

Inilah realiti kehidupan kita. Segala yang baik, positif, segala ketinggian dan kemuliaan, kejayaan dan kebahagiaan tidak akan datang bergolek tetapi memerlukan usaha yang berterusan yang dibangunkan dengan tekad dan keazaman yang tercetus dari matlamat dan kefahaman yang benar tentang kehidupan serta dibajai dengan doa dan ibadah yang akan menjadikan jiwa kita subur dan lunak yang nantinya akan menjadi tempat tumbuhnya kepasrahan, ketenangan, kesabaran dan ketabahan.

Arus kehidupan inipun tidak pernah membezakan siapa kita, dari mana keturunan kita, muliakah atau hinakah bangsa kita; siapa yang lalai dan leka akan menjadi mangsa namun siapa yang sedar diri serta berusaha menongkah arus deras ini maka kejayaan dan kebahagiaan akan menjadi miliknya.